Model-Model Pembelajaran
Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi
ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke
dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di
dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang
lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang
ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi
pro dan kontra diberikan kepada guru.
Selanjutnya
guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang
meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa
terlibat dalam prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.
Metode Role Playing
Metode
Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi
dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup
atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing:
Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.
- Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
- Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
- Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
- Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Metode
pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam
kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai
masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok
untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
- Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
- Berpikir dan bertindak kreatif.
- Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
- Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
- Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
- Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
- Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
- Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
- Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.
Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Problem
Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang
bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan
pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah:
- Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
- Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
- Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
- Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
- Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
- Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
- Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
- Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
- Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
- Membutuhkan banyak waktu dan dana.
- Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
Cooperative Script
Skrip
kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan
secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
- Guru membagi siswa untuk berpasangan.
- Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
- Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
- Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
- Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
- Kesimpulan guru.
- Penutup.
Kelebihan:
- Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
- Setiap siswa mendapat peran.
- Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
- Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
- Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).
Picture and Picture
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:Memakan banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.
Numbered Heads Together
Numbered
Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi
nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil
nomor dari siswa.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
- Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
- Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
- Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
- Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
- Kesimpulan.
Kelebihan:
- Setiap siswa menjadi siap semua.
- Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
- Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
- Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
- Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru
Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Metode
investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling
kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran
kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam
menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi.
Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam
berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process
skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya
membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6
siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga
didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu
topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari,
mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah
dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas
secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode
investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
b. Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c. Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
d. Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Metode Jigsaw
Pada
dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar
menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke
dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa
sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap
komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari
masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang
sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua
atau tiga orang.
Siswa-siswa
ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a)
belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan
bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya
semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok
masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi
penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik
lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab
untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan
oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai
topik secara keseluruhan.
Metode Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran
kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran
kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa
tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor
sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5. Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40
Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
- Guru menyajikan pelajaran.
- Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
- Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
- Memberi evaluasi.
- Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
Model Examples Non Examples
Examples
Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh.
Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
Langkah-langkah:
- Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
- Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
- Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
- Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
- Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
- Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
- KKesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
Model Lesson Study
Lesson
Study adalah suatu metode yang dikembankan di Jepang yang dalam bahasa
Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan
oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2.
Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan
yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan
dasar-dasar teori yang menunjang.
3.
Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar
di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.
4.
Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran
sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap
observasi terlalui.
5.
Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian
bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang
telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini
juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran
berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.
Model Pembelajaran ARIAS
Abstrak.
Model pembelajaran ARIAS dikembangkan sebagai salah satu alternatif
yang dapat digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan
pembelajaran dengan baik. Model pembelajaran ARIAS berisi lima komponen
yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran
yaitu assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction yang
dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar.
Model
ini sudah dicobakan di dua sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD
negeri di Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di
Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Hasil percobaan di
lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh
yang positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut model pembelajaran ARIAS dapat
digunakan oleh para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan
pembelajaran dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil
belajar siswa.
Kata kunci: motivasi berprestasi, hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan pembelajaran
1. Pendahuluan
Salah
satu masalah dalam pembelajaran di sekolah adalah rendahnya hasil
belajar siswa. Suatu tes terhadap sejumlah siswa SD dari berbagai
kabupaten dan propinsi menunjukkan hasil belajar siswa sangat rendah
(Lastri 1993:12). Nilai Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima tahun
terakhir (1993/1994 sampai dengan 1997/1998) menunjukkan hasil belajar
yang kurang menggembirakan (Depdikbud, 1998).
Hasil
belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam
(internal) maupun faktor dari luar (eksternal). Menurut Suryabrata
(1982: 27) yang termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan
psikologis (misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan
kognitif), sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor
lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan model
pembelajaran). Bloom (1982: 11) mengemukakan tiga faktor utama yang
mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi
berprestasi dan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah
kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model
pembelajaran yang digunakan.
Sering
ditemukan di lapangan bahwa guru menguasai materi suatu subjek dengan
baik tetapi tidak dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik.
Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model
pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa
rendah. Timbul pertanyaan apakah mungkin dikembangkan suatu model
pembelajaran yang sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan
oleh para guru sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran
dengan baik sehingga dapat membantu meningkatkan motivasi berprestasi
dan hasil belajar. Berkenaan dengan hal itu, maka dengan memperhatikan
berbagai konsep dan teori belajar dikembangkanlah suatu model
pembelajaran yang disebut dengan model pembelajaran ARIAS. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi
berprestasi dan hasil belajar siswa, telah dicobakan pada sejumlah
siswa di dua sekolah yang berbeda. Hasil percobaan di lapangan
menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang positif
terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu,
model pembelajaran ARIAS ini dapat digunakan oleh para guru sebagai
dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu
alternatif dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil
belajar siswa. Tujuan percobaan lapangan ini untuk mengetahui apakah ada
pengaruh model pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan
hasil belajar.
2. Kajian Teori dan Pembahasan
2.1 Model Pembelajaran ARIAS
Model
pembelajaran ARIAS merupakan modifikasi dari model ARCS. Model ARCS
(Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction), dikembangkan oleh
Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban pertanyaan bagaimana
merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi dan
hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan teori
nilai harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen
yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan
(expectancy) agar berhasil mencapai tujuan itu. Dari
dua komponen tersebut oleh Keller dikembangkan menjadi empat komponen.
Keempat komponen model pembelajaran itu adalah attention, relevance,
confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS (Keller dan Kopp, 1987:
289-319).
Model
pembelajaran ini menarik karena dikembangkan atas dasar teori-teori
belajar dan pengalaman nyata para instruktur (Bohlin, 1987: 11-14).
Namun demikian, pada model pembelajaran ini tidak ada evaluasi
(assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak dapat
dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak
hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama
proses kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui
sampai sejauh mana kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang
diperoleh siswa (DeCecco, 1968: 610). Evaluasi yang dilaksanakan selama
proses pembelajaran menurut Saunders et al. seperti yang dikutip Beard
dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Mengingat
pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini dimodifikasi dengan
menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran tersebut.
Dengan
modifikasi tersebut, model pembelajaran yang digunakan mengandung lima
komponen yaitu: attention (minat/perhatian); relevance (relevansi);
confidence (percaya/yakin); satisfaction (kepuasan/bangga), dan
assessment (evaluasi). Modifikasi juga dilakukan dengan penggantian nama
confidence menjadi assurance, dan attention menjadi interest.
Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance, karena
kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80).
Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan
mampu dan berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa
percaya diri siswa bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil.
Demikian juga penggantian kata attention menjadi interest, karena pada
kata interest (minat) sudah terkandung pengertian attention (perhatian).
Dengan kata interest tidak hanya sekedar menarik minat/perhatian siswa
pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara minat/perhatian tersebut
selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk memperoleh akronim yang
lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun dimodifikasi menjadi
assurance, relevance, interest, assessment dan satisfaction. Makna dari
modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan pembelajaran untuk
menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan pembelajaran ada
relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan memelihara
minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan rasa
bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan
mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS
sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi ini disebut model pembelajaran ARIAS.
2.2 Komponen Model Pembelajaran ARIAS
Seperti
yang telah dikemukakan model pembelajaran ARIAS terdiri dari lima
komponen (assurance, relevance, interest, assessment, dan satisfaction)
yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima komponen tersebut
merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang dapat
dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran
adalah sebagai berikut.
Komponen
pertama model pembelajaran ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu
berhubungan dengan sikap percaya, yakin akan berhasil atau yang
berhubungan dengan harapan untuk berhasil (Keller, 1987: 2-9). Menurut
Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll (1988: 70) seseorang
yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan berhasil
bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa
yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka
bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini
mempengaruhi kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap
ini menimbulkan perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau
harapan akan berhasil mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai
suatu keberhasilan (Petri, 1986: 218). Siswa yang memiliki sikap percaya
diri memiliki penilaian positif tentang dirinya cenderung menampilkan
prestasi yang baik secara terus menerus (Prayitno, 1989: 42). Sikap
percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu ditanamkan kepada siswa
untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal guna mencapai
keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri dan
merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong
untuk melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat
mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang
lain. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap
percaya diri adalah:
-
Membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri serta menanamkan
pada siswa gambaran diri positif terhadap diri sendiri. Menghadirkan
seseorang yang terkenal dalam suatu bidang sebagai pembicara,
memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil
(sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran
positif terhadap diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin dan
Briggs (1986: 427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil dapat
mengubah sikap dan tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari
para ahli. Menggunakan seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap
percaya diri menurut Bandura seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 88)
sudah dilakukan secara luas di sekolah-sekolah.
-
Menggunakan suatu patokan, standar yang memungkinkan siswa dapat
mencapai keberhasilan (misalnya dengan mengatakan bahwa kamu tentu dapat
menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).
-
Memberi tugas yang sukar tetapi cukup realistis untuk
diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya memberi tugas
kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke tugas yang
sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan
tingkat kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth
dan Curtis dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha
menanamkan rasa percaya diri pada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.
Komponen
kedua model pembelajaran ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan
kehidupan siswa baik berupa pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki
maupun yang berhubungan dengan kebutuhan karir sekarang atau yang akan
datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa merasa kegiatan pembelajaran yang
mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan berguna bagi kehidupan
mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau apa yang akan
dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki tujuan
yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas
serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu
untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan
mengetahui kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan
didapat. Mereka juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang
telah dimiliki dengan kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat
dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll,
1988: 140).
Dalam
kegiatan pembelajaran, para guru perlu memperhatikan unsur relevansi
ini. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi
dalam pembelajaran adalah:
-
Mengemukakan tujuan sasaran yang akan dicapai. Tujuan yang jelas akan
memberikan harapan yang jelas (konkrit) pada siswa dan mendorong mereka
untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968: 162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
-
Mengemukakan manfaat pelajaran bagi kehidupan siswa baik untuk masa
sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di masa mendatang.
-
Menggunakan bahasa yang jelas atau contoh-contoh yang ada hubungannya
dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai yang dimiliki siswa. Bahasa
yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa. Pengalaman nyata
atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat menjembataninya ke
hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi siswa, juga
diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik tolak
yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan
fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang
sedang dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif
strategi dan media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan.
Dengan demikian dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi
dan/atau media pembelajaran pada setiap kegiatan pembelajaran.
Komponen
ketiga model pembelajaran ARIAS, interest, adalah yang berhubungan
dengan minat/perhatian siswa. Menurut Woodruff seperti dikutip oleh
Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar tidak terjadi tanpa ada
minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth (1987: 383-430)
menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian tidak hanya
harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan
berbagai bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan
pembelajaran. Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya
minat/perhatian siswa terhadap tugas yang diberikan dapat mendorong
siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan kembali mengerjakan sesuatu yang
menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka. Membangkitkan dan
memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan keingintahuan
siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian merupakan alat yang sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara lain adalah:
- Menggunakan cerita, analogi, sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang berbeda dari biasa dalam pembelajaran.
-
Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam
pembelajaran, misalnya para siswa diajak diskusi untuk memilih topik
yang akan dibicarakan, mengajukan pertanyaan atau mengemukakan masalah
yang perlu dipecahkan.
-
Mengadakan variasi dalam kegiatan pembelajaran misalnya menurut Lesser
seperti dikutip Gagne dan Driscoll (1988: 69) variasi dari serius ke
humor, dari cepat ke lambat, dari suara keras ke suara yang sedang, dan
mengubah gaya mengajar.
-
Mengadakan komunikasi nonverbal dalam kegiatan pembelajaran seperti
demonstrasi dan simulasi yang menurut Gagne dan Briggs (1979: 157) dapat
dilakukan untuk menarik minat/perhatian siswa.
Komponen
keempat model pembelajaran ARIAS adalah assessment, yaitu yang
berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa. Evaluasi merupakan suatu
bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan keuntungan bagi guru dan
murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale seperti dikutip
Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui apakah
yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan
siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang
telah siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa,
evaluasi merupakan umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang
dimiliki, dapat mendorong belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi
berprestasi (Hopkins dan Antes, 1990:31). Evaluasi terhadap siswa
dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kemajuan yang telah mereka
capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti yang dinyatakan
dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157). Evaluasi tidak
hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk mengevaluasi diri
mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi diri
dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman
mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi
dari sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka
akan merasa malu kalau kelemahan dan kekurangan yang dimiliki diketahui
oleh teman mereka sendiri. Evaluasi terhadap diri sendiri merupakan
evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar serta membantu siswa
meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987: 11-14)
bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan
belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat
mendorong siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga
sesuai dengan apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip
Beard dan Senior (1980: 76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa. Oleh karena itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa
evaluasi perlu dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk melaksanakan evaluasi antara lain adalah:
- Mengadakan evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
- Memberikan evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi kepada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
- Memberi kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen
kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang
berhubungan dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam
teori belajar satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa
yang telah berhasil mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa
bangga/puas atas keberhasilan tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu
menjadi penguat bagi siswa tersebut untuk mencapai keberhasilan
berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70). Reinforcement atau penguatan
yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada siswa adalah penting dan
perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower, 1975:561).
Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul dari
dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana
individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai
atau mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul
karena pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau
lingkungan yang disebut kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987:
2-9). Seseorang merasa bangga dan puas karena apa yang dikerjakan dan
dihasilkan mendapat penghargaan baik bersifat verbal maupun nonverbal
dari orang lain atau lingkungan. Memberikan penghargaan (reward) menurut
Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs (1979: merupakan
suatu penguatan (reinforcement) dalam kegiatan pembelajaran. Dengan
demikian, memberikan penghargaan merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mempengaruhi hasil belajar siswa (Hilgard dan Bower,
1975: 561). Untuk itu, rasa bangga dan puas perlu ditanamkan dan dijaga
dalam diri siswa. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain :
-
Memberi penguatan (reinforcement), penghargaan yang pantas baik secara
verbal maupun non-verbal kepada siswa yang telah menampilkan
keberhasilannya. Ucapan guru : “Bagus, kamu telah mengerjakannya dengan
baik sekali!”. Menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai tanda
setuju atas jawaban siswa terhadap suatu pertanyaan, merupakan suatu
bentuk penguatan bagi siswa yang telah berhasil melakukan suatu
kegiatan. Ucapan yang tulus dan/atau senyuman guru yang simpatik
menimbulkan rasa bangga pada siswa dan ini akan mendorongnya untuk
melakukan kegiatan lebih baik lagi, dan memperoleh hasil yang lebih baik
dari sebelumnya.
-
Memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan
pengetahuan/keterampilan yang baru diperoleh dalam situasi nyata atau
simulasi.
- Memperlihatkan perhatian yang besar kepada siswa, sehingga mereka merasa dikenal dan dihargai oleh para guru.
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk membantu teman mereka yang mengalami kesulitan/memerlukan bantuan.
2.3 Penggunaan Model Pembelajaran ARIAS
Penggunaan
model pembelajaran ARIAS perlu dilakukan sejak awal, sebelum guru
melakukan kegiatan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran ini
digunakan sejak guru atau perancang merancang kegiatan pembelajaran
dalam bentuk satuan pelajaran misalnya. Satuan pelajaran sebagai
pegangan (pedoman) guru kelas dan satuan pelajaran sebagai bahan/materi
bagi siswa. Satuan pelajaran sebagai pegangan bagi guru disusun
sedemikian rupa, sehingga satuan pelajaran tersebut sudah mengandung
komponen-komponen ARIAS. Artinya, dalam satuan pelajaran itu sudah
tergambarkan usaha/kegiatan yang akan dilakukan untuk menanamkan rasa
percaya diri pada siswa, mengadakan kegiatan yang relevan, membangkitkan
minat/perhatian siswa, melakukan evaluasi dan menumbuhkan rasa
dihargai/bangga pada siswa. Guru atau pengembang sudah merancang urutan
semua kegiatan yang akan dilakukan, strategi atau metode pembelajaran
yang akan digunakan, media pembelajaran apa yang akan dipakai,
perlengkapan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana cara penilaian akan
dilaksanakan. Meskipun demikian pelaksanaan kegiatan pembelajaran
disesuaikan dengan situasi, kondisi dan lingkungan siswa. Demikian juga
halnya dengan satuan pelajaran sebagai bahan/materi untuk siswa.
Bahan/materi tersebut harus disusun berdasarkan model pembelajaran
ARIAS. Bahasa, kosa kata, kalimat, gambar atau ilustrasi, pada
bahan/materi dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, bahwa
mereka mampu, dan apa yang dipelajari ada relevansi dengan kehidupan
mereka. Bentuk, susunan dan isi bahan/materi dapat membangkitkan
minat/perhatian siswa, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengadakan
evaluasi diri dan siswa merasa dihargai yang dapat menimbulkan rasa
bangga pada mereka. Guru dan/atau pengembang agar menggunakan bahasa
yang mudah dipahami dan dimengerti, kata-kata yang jelas dan kalimat
yang sederhana tidak berbelit-belit sehingga maksudnya dapat dengan
mudah ditangkap dan dicerna siswa. Bahan/materi agar dilengkapi dengan
gambar yang jelas dan menarik dalam jumlah yang cukup. Gambar dapat
menimbulkan berbagai macam khayalan/fantasi dan dapat membantu siswa
lebih mudah memahami bahan/materi yang sedang dipelajari.
Siswa
dapat membayangkan/mengkhayalkan apa saja, bahkan dapat membayangkan
dirinya sebagai apa saja (McClelland, 1987: 29). Bahan/materi disusun
sesuai urutan dan tahap kesukarannya perlu dibuat sedemikian rupa
sehingga dapat menimbulkan keingintahuan dan memungkinkan siswa dapat
mengadakan evaluasi sendiri.
3. Hasil Percobaan di Lapangan
Model
pembelajaran ARIAS telah dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah
yang berbeda. Pertama model ini dicobakan kepada sejumlah siswa kelas V
dari sebuah sekolah dasar (SD) Negeri di Kota Palembang selama satu
caturwulan yaitu catur wulan III tahun ajaran 1995/1996. Sekolah ini
diambil sebagai sampel secara acak sederhana dari sejumlah SD negeri
setara di Kota Palembang yang memiliki kelas V paralel. Dari keseluruhan
siswa SD ini diambil 60 orang siswa kelas V sebagai sampel yang
dikelompokkan ke dalam empat kelompok, di mana masing-masing kelompok
berjumlah 15 orang siswa. Sampel siswa ini juga diambil secara acak
sederhana. Percobaan menggunakan metode eksperimen dengan rancangan
faktorial 2 x 2. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan
instrumen tes hasil belajar dan kuesioner yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya. Data yang diperoleh dianalisis dengan
ANAVA—2 jalur dengan uji F pada taraf signifikansi a = 0,05.
Percobaan
kedua juga menggunakan metode eksperimen dengan rancangan 2 x 2
dilaksanakan di SD yang berbeda, yaitu sebuah SD negeri di Sekayu,
Kabupaten Musi Banyu Asin. Lama
percobaan selama satu caturwulan yaitu catur wulan II tahun ajaran
1996/1997. Jumlah sampel sebanyak 80 orang siswa yang dikelompokkan ke
dalam empat kelompok di mana masing-masing kelompok berjumlah 20 orang
siswa. Baik sampel SD maupun sampel siswa diambil secara acak sederhana.
Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan tes motivasi
berprestasi. Data yang diperoleh juga dianalisis dengan
ANAVA—2 jalur pada taraf signifikansi a = 0,05. Seperti halnya
pada percobaan pertama, pada percobaan kedua ini juga dilakukan uji
persyaratan analisis yaitu uji Lilliefors untuk normalitas dan uji
Bartlett untuk homogenitas data.
Apakah
motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa yang mengikuti model
pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang mengikuti model
pembelajaran non-ARIAS. Untuk itu baik pada percobaan pertama maupun
pada percobaan kedua, siswa dikelompokkan ke dalam kelompok kontrol dan
eksperimen. Kegiatan pembelajaran pada kelompok eksperimen dilaksanakan
berdasarkan model pembelajaran ARIAS. Satuan pelajaran yang disusun
berdasarkan model pembelajaran ARIAS disusun/dikembangkan oleh penulis.
Pada kelompok kontrol kegiatan pembelajaran dilaksanakan berdasarkan
model pembelajaran non-ARIAS, dengan satuan pelajaran disusun oleh guru
kelas bersangkutan. Pada kedua percobaan ini dilakukan pengontrolan validitas internal dan eksternal. Pengontrolan validitas internal adalah:
(1)
Menyetarakan setiap kelompok pada awal percobaan dengan menganalisis
skor tes awal setiap kelompok untuk menghindari efek pemilihan subjek
yang berbeda;
(2) Menggunakan instrumen yang sama untuk tes akhir dan tes awal guna menghindari efek perbedaan instrumen pengukur;
(3)
Mengusahakan agar tidak ada subjek yang mengundurkan diri selama
penelitian berlangsung untuk menghindari efek kehilangan subjek dalam
percobaan;
(4)
Memberikan perlakuan yang relatif singkat, untuk menghindari efek
pematangan dan efek tes awal. Pengontrolan validitas eksternal adalah:
1. Penentuan kelompok kontrol, kelompok eksperimen dan pemilihan guru yang memiliki kualifikasi setara ditetapkan secara acak;
2.
Suasana belajar, situasi kelas, dan kondisi setiap kelompok semua sama
seperti hari-hari belajar biasa, kecuali penggunaan model pembelajaran
ARIAS pada kelompok eksperimen, untuk menghindari efek lingkungan yang
dapat menyebabkan reaksi yang berlebihan dari siswa;
3. Selama percobaan siswa tidak diberitahu bahwa sedang ada penelitian untuk menghindari efek Howthorne dan John Henry.
Hasil
ANAVA menunjukkan bahwa pada percobaan pertama Fo=10,74 jauh lebih
besar dari Ft=4,02 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan
rerata skor antara kedua kelompok XA=78,80 > Xn-A=75,93 (Sopah, 1999:
120 - 121). Hasil ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang
mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada mereka yang
mengikuti model pembelajaran non-ARIAS. Pada percobaan kedua Fo=8,44
lebih besar dari Ft=3,96 pada taraf signifikansi a = 0,05, dan perbedaan
rerata skor antara kedua kelompok adalah XA=18,55 > Xn-A=15,98
(Sopah,1998: 99-100). Hasil ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi
siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih tinggi daripada
mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
Hasil
kedua percobaan menunjukkan bahwa ada pengaruh model pembelajaran ARIAS
terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar. Motivasi berprestasi
dan hasil belajar siswa yang mengikuti model pembelajaran ARIAS lebih
tinggi daripada mereka yang mengikuti model pembelajaran non-ARIAS.
4. Penutup
Dari
hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model
pembelajaran ARIAS dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif
dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar.
Meskipun percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua
percobaan ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
Dari
hasil kedua percobaan lapangan tersebut dapat dikatakan bahwa model
pembelajaran dapat digunakan oleh guru sebagai suatu alternatif dalam
usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar. Meskipun
percobaan lapangan ini menunjukkan hasil positif namun kedua percobaan
ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:
-
Percobaan ini dilakukan dengan mengambil sampel salah satu SD negeri di
Kota Palembang (percobaan pertama) dan satu SD negeri di Sekayu,
Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua). Walaupun sampel ini diambil
secara acak, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga hasilnya belum
tentu dapat digeneralisasikan ke wilayah yang lebih luas. Untuk itu,
perlu penelitian sejenis lainnya dengan sebaran dan wilayah sampel yang
lebih luas. Dengan dukungan hasil penelitian sejenis ini maka diharapkan
dapat merupakan bahan pertimbangan penggunaan model pembelajaran ARIAS
di Sekolah Dasar.
-
Waktu yang digunakan untuk percobaan ini juga terbatas. Percobaan hanya
berlangsung selama satu catur wulan. Karena waktunya terbatas, maka
bahan atau materi yang diberikan juga terbatas, belum begitu banyak.
Meskipun dalam percobaan ini telah dilakukan pengendalian secara cermat,
namun karena terbatasnya waktu dan bahan yang diberikan kemungkinan
adanya pengaruh variabel lain yang tidak terkendali dapat terjadi. Untuk
itu, perlu adanya penelitian lanjutan yang waktunya lebih lama,
bahan/materi yang diberikan lebih banyak, sehingga dapat lebih
mencerminkan bahwa model pembelajaran ARIAS dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa atau tidak.
-
Bidang studi yang digunakan terbatas pada satu bidang studi bahkan satu
subbidang studi. Hasil baik yang diperoleh dalam subbidang studi ini
belum tentu memberikan hasil yang sama pada bidang studi lain. Karena
itu juga perlu adanya penelitian sejenis lainnya pada berbagai bidang
studi, sehingga dapat mencerminkan besarnya pengaruh model pembelajaran
ARIAS terhadap hasil belajar siswa.
-
Dalam percobaan ini satuan pelajaran yang disusun menurut model
pembelajaran ARIAS, baik untuk pegangan guru maupun sebagai bahan/materi
bagi murid disusun oleh penulis. Satuan pelajaran menurut model
pembelajaran ARIAS ini dicobakan dan ternyata hasilnya baik. Hasil baik
ini mungkin perlu didukung oleh penelitian sejenis lainnya di mana
satuan pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS disusun oleh guru
bersangkutan. Dengan demikian akan terlihat apakah memang satuan
pelajaran menurut model pembelajaran ARIAS yang disusun oleh guru dengan
berbagai macam keterbatasannya juga akan mencapai hasil yang lebih
baik.
Pustaka Acuan :
Beard, Ruth M. dan Senior, Isabel J. 1980. Motivating students. London: Routledge and Kegan Paul Ltd.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.
Bloom, Benjamin S.1982. Human characteristics and school learning. New York: McGraw-Hill Book Company.
Bohlin, Roy M. 1987. Motivation in instructional design: Comparison of an American and a Soviet model, Journal of Instructional Development vol. 10 (2), 11-14.
Callahan, Sterling G. 1966. Successful teaching in secondary schools. Chicago: Scott, Foreman and Company.
Davies, Ivor K. 1981. Instructional technique. New York: McGraw Hill Book Company.
DeCecco, John P. 1968. The psychology of learning and instructions: Educational psychology. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Laporan EBTANAS SD. Palembang: Depdikbud Kodya Palembang.
Dick, Walter dan Reiser, Robert A. 1989. Planning effective instruction. Boston: Allyn and Bacon.
Gagne, Robert M, dan Briggs, Leslie J. 1979. Principles of instructional design. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Gagne, Robert M. dan Driscoll, Marcy P. 1988. Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Hendorn, James N. 1987. Learner interests, achievement, and continuing motivation in instruction, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 11-14.
Hilgard, Ernest R. dan Bower, Gordon H. 1975. Theories of learning. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Hopkins, Charles D. dan Antes, Richard L. 1990. Classroom measurement and evaluation. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publisher, Inc.
Keller, John M. 1983. Motivational design instruction dalam Charles M Reigeluth (ed.), Instructional design theories and models, 383-430. Hillsdale, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
________ 1987. Development and use of ARCS model of instructional design, Journal of Instructional Development, Vol. 10 (3), 2-9.
Keller, John M. dan Thomas W. Kopp. 1987. An application of the ARCS model of motivational design, dalam Charles M. Reigeluth (ed), Instructional theories in action, 289-319. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
Lastri, M.T.F. 1993. Kemampuan murid SD memprihatinkan, Kompas, 14 Juli, 12.
Lefrancois, Guy R. 1982. Psychology for teaching. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
McClelland, David C. 1987. Memacu masyarakat berprestasi. Terjemahan Siswo Suyanto dan W.W. Bakowatun. Jakarta: CV. Intermedia.
Morris, William (ed) 1981. The American heritage dictionary of English language. Boston: Houghton Miflin Company. Petri, Herbert L. 1986. Motivation: Theory and research. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Prayitno, Elida 1989. Motivasi dalam belajar. Jakarta: PPPLPTK.
Reigeluth, Charles M. dan Curtis Ruth V. 1987. Learning situations and instructinal models, dalam Robert M. Gagne (ed.), Instructional technology foundations, 175-206. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Semiawan, Conny R. 1991.
Strategi pembelajaran yang efektif dan efisien dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (ed.), Mencari strategi pengembangan pendidikan nasional menjelang abad XXI, 165-175. Jakarta: Grasindo. Soekamto, Toeti 1994. Evaluasi diri demi peningkatan mutu pendidikan. Pidato pengukuhan guru besar tetap Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta, 30 Juli.
Sopah, Djamaah 1998. Studi tentang model peningkatan motivasi berprestasi siswa, Laporan penelitian. Palembang: Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
________ 1999. Pengaruh model pembelajaran ARIAS dan motivasi berprestasi terhadap hasil belajar siswa, Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
Suryabrata, Sumadi 1982. Psikologi pendidikan: Materi pendidikan program bimbingan konseling di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Depdikbud.
RIWAYAT HIDUP
Djamaah
Sopah, lahir di Penggage, 14 April 1944. Menyelesaikan Sarjana Muda
Pendidikan dari IKIP Bandung Cabang Palembang tahun 1967 dan Sarjana
Pendidikan jurusan Pendidikan Umum di FKIP Unversitas Sriwijaya tahun
1974. Pada tahun 1982 mengikuti pendidikan Pascasarjana di University of
Kentucky, USA, dan memperoleh gelar Master of Science in Education
dalam bidang Curriculum & Instruction tahun 1984. Pada tahun 1985
mendapat ijazah Akta Mengajar V dari Universitas Terbuka. Tahun 1999 memperoleh gelar Doktor dalam bidang Teknologi Pendidikan dari IKIP Jakarta.
Dari
tahun 1962 sampai tahun 1974 pernah menjadi guru dan Kepala SD, guru
SMP, guru SPSA, serta guru dan Kepala SPG. Sejak tahun 1974 sampai
sekarang menjadi dosen pada FIP/FKIP Universitas Sriwijaya. Di
samping itu pernah menjadi Koordinator Instructional Improvement
Network-WUAE, BKS/B-USAID 1985-1990. Instruktur pada penataran
Pengembangan Pembelajaran di berbagai Perguruan Tinggi Negeri di Wilayah
Indonesia Bagian Barat dan berbagai PTS di KOPERTIS Wilayah II
(1984-1990). Pada tahun 1987 diundang sebagai instruktur pada “the
WUAE-BKS/B Training Institute” University of Kentucky, USA.
Artikel
ilmiah yang pernah ditulis antara lain: “Komunikasi antara Orangtua dan
Anak” disajikan pada Diskusi Panel ISWI Palembang, 1990. “Transparansi
OHP sebagai Media Instruksional” (Suara Guru No. 5 Th. XLVI/1997).
“Motivasi Berprestasi, Perhatian Orangtua dan Hasil Belajar” (Forum
Kependidikan No. 2 Th. XIII/1996). Sedangkan seminar/workshop
internasional yang pernah diikuti antara lain “Mid-Winter Community
Seminar (Tuskeege, USA, 1982).
“The International Development Training Workshop” (Lexington, USA, 1983).
Sumber: Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang - Depdiknas
Model-model evaluasi hasil belajar PIPS (membahas pengertian validitas kurikulum (curriculum validity) serta perannya terhadap evaluasi hasil belajar; pendekatan dan alat dalam evaluasi hasil belajar PIPS)
TIU:Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah memiliki pengetahuan, wawasan, pengalaman dan ketrampilan dalam:
a. pengertian IPS, Ilmu Sosial, social studies
b. landasan filosofis, akademik dan edukatif PIPS
c. tradisi social studies dan PIPS
d. teori dan pengembangan tujuan PIPS
e. teori, prosedur, dan model pengembangan materi kurikulum PIPS
f. teori, pendekatan, dan model pengembangan proses belajar PIPS
g. teori tentang hasil belajar PIPS
h. model-model evaluasi PIPS
TIK:- Alokasi:16 kali pertemuan Sumber:Andersen,C., P.G. Avery, P.V. Pederson, E.S. Smith, J.L. Sullivan (1997). Divergent perspectives on citizenship education: A Q-method study and survey of social studies teachers. American Educational Research Journal, 34, 2.
TIU:Mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah memiliki pengetahuan, wawasan, pengalaman dan ketrampilan dalam:
a. pengertian IPS, Ilmu Sosial, social studies
b. landasan filosofis, akademik dan edukatif PIPS
c. tradisi social studies dan PIPS
d. teori dan pengembangan tujuan PIPS
e. teori, prosedur, dan model pengembangan materi kurikulum PIPS
f. teori, pendekatan, dan model pengembangan proses belajar PIPS
g. teori tentang hasil belajar PIPS
h. model-model evaluasi PIPS
TIK:- Alokasi:16 kali pertemuan Sumber:Andersen,C., P.G. Avery, P.V. Pederson, E.S. Smith, J.L. Sullivan (1997). Divergent perspectives on citizenship education: A Q-method study and survey of social studies teachers. American Educational Research Journal, 34, 2.
Brophy,J. dan J. Alleman (1996). Powerful social studies for elementary students. Forth Worth: Harcourt Brace College Publisher
Gregg,S.M.
dan G. Leinhardt,. (1994). Mapping out geography: an example of
epistemology and education. Review of Educational Research, 62, 2.
Hasan,S.H. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hess,
F.M. (1999). Bringing the Social Sciences Alive: 10 Simulations for
History, Economics, Government, and Geography. Boston: Allyn and Bacon.
Hursh,D.W. dan E.W. Ross (2000). Democratic Social Education: Social Studies for Social Change. New York: Palmer Press.
Lindquist,T. (1995). Seeing the whole through social studies. London: Heinemann
NCSS (1994). Curriculum standards for social studies: expectations of excellence. Washington,D.C.: NCSS
Nebraska,
Stateboard of Education (1998). Nebraska Social Studies/History
Standards: Grades K-12. [Online]. Tersedia:
http://www.nde.state.ne.us/SS/SocSStnd.html. (25 Mei 2001).
National
Center for History in the Schools (1996). National standards for
history. Los Angeles, CA: National Center for History in the Schools
Savage,T.V.
dan D.G. Armstrong (1996). Effective teaching in elementary social
studies. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
Shaver,
J.P. (1991). Handbook of research on social studies teaching and
learning. A project of the National Council for the Social Studies. New
York: Macmillan Publishing Company.
Semb,G.B. dan J.A. Ellis (1994). Knowledge taught in school: what is remembered? Review of Educational Research, 64, 2.
Stahl,R.J.
(ed)(1994). Cooperative learning in social studies: a handbook for
teachers. Menlo Park, California: Addison-Wesley Publishing Company.
Thornton,S.J.
(1994). The social studies near century’s end: reconsidering patterns
of curriculum and instruction, dalam Review of Research in Education,
20.
Wilson,S.M. dan Wineburg,S.S. (1993). Wrinkles in time and
place: using performance assessments to understand the knowledge of
history teachers. American Educational Research Journal, 30, 4.
Jurnal
Social Studies
Review of Educational Research
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial
Historia
Review of Educational Research
Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial
Historia
Internet
http://dir.yahoo.com/Education
http://www.stemnet.nf.ca/Curriculum/Validate
http://www.ed.uiuc.edu/circe
http://www.stemnet.nf.ca/Curriculum/Validate
http://www.ed.uiuc.edu/circe
SPIRAL MODEL
Proses model yang lain, yang cukup populer adalah Spiral Model. Model ini juga cukup baru ditemukan, yaitu pada sekitar tahun 1988 oleh Barry Boehm pada artikel A Spiral Model of Software Development and Enhancement.
Spiral model adalah salah satu bentuk evolusi yang menggunakan metode
iterasi natural yang dimiliki oleh model prototyping dan digabungkan
dengan aspek sistimatis yang dikembangkan dengan model waterfall. Tahap
desain umumnya digunakan pada model Waterfall, sedangkan tahap
prototyping adalah suatu model dimana software dibuat prototype (incomplete model), “blue-print”-nya, atau contohnya dan ditunjukkan ke user / customer untuk mendapatkan feedback-nya.
Jika prototype-nya sudah sesuai dengan keinginan user / customer, maka
proses SE dilanjutkan dengan membuat produk sesungguhnya dengan menambah
dan memperbaiki kekurangan dari prototype tadi.
Model ini juga
mengkombinasikan top-down design dengan bottom-up design, dimana
top-down design menetapkan sistem global terlebih dahulu, baru
diteruskan dengan detail sistemnya, sedangkan bottom-up design berlaku
sebaliknya. Top-down design biasanya diaplikasikan pada model waterfall
dengan sequential-nya, sedangkan bottom-up design biasanya diaplikasikan
pada model prototyping dengan feedback yang diperoleh. Dari 2 kombinasi
tersebut, yaitu kombinasi antara desain dan prototyping, serta top-down
dan bottom-up, yang juga diaplikasikan pada model waterfall dan
prototype, maka spiral model ini dapat dikatakan sebagai model proses
hasil kombinasi dari kedua model tersebut. Oleh karena itu, model ini
biasanya dipakai untuk pembuatan software dengan skala besar dan
kompleks.
Spiral model dibagi menjadi beberapa framework
aktivitas, yang disebut dengan task regions. Kebanyakan aktivitas2
tersebut dibagi antara 3 sampai 6 aktivitas. Berikut adalah
aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam spiral model:
· Customer communication.
Aktivitas yang dibutuhkan untuk membangun komunikasi yang efektif
antara developer dengan user / customer terutama mengenai kebutuhan dari
customer.
· Planning.
Aktivitas perencanaan ini dibutuhkan untuk menentukan sumberdaya,
perkiraan waktu pengerjaan, dan informasi lainnya yang dibutuhkan untuk
pengembangan software.
· Analysis risk.
Aktivitas analisis resiko ini dijalankan untuk menganalisis baik resiko
secara teknikal maupun secara manajerial. Tahap inilah yang mungkin
tidak ada pada model proses yang juga menggunakan metode iterasi, tetapi
hanya dilakukan pada spiral model.
· Engineering. Aktivitas yang dibutuhkan untuk membangun 1 atau lebih representasi dari aplikasi secara teknikal.
· Construction & Release.
Aktivitas yang dibutuhkan untuk develop software, testing, instalasi
dan penyediaan user / costumer support seperti training penggunaan
software serta dokumentasi seperti buku manual penggunaan software.
· Customer evaluation. Aktivitas yang dibutuhkan untuk mendapatkan feedback dari user / customer berdasarkan evaluasi
mereka selama representasi software pada tahap engineering maupun pada
implementasi selama instalasi software pada tahap construction and
release.
Berikut adalah gambar dari spiral model secara umum :
Satu
lingkaran dari bentuk spiral pada spiral model dibagi menjadi beberapa
daerah yang disebut dengan region. Region tersebut dibagi sesuai dengan
jumlah aktivitas yang dilakukan dalam spiral model. Tentunya lingkup
tugas untuk project yang kecil dan besar berbeda. Untuk project yang
besar, setiap region berisi sejumlah tugas-tugas yang tentunya lebih
banyak dan kompleks daripada untuk project yang kecil. SE berjalan dari
inti spiral berjalan mengitari sirkuit per sirkuit. Sebagai contoh untuk
sirkuit pertama dilakukan untuk pembangunan dari spesifikasi dari
software dengan mencari kebutuhan dari customer. Untuk sirkuit pertama
harus menjalani semua aktivitas yang didefinisikan. Setelah 1 sirkuit
terlewati lanjut ke tugas selanjutnya misalnya membangun prototype.
Tugas ini juga harus mengitari 1 sirkuit dan begitu terus selanjutnya
sampai project selesai.
Tidak seperti model-model
konvesional dimana setelah SE selesai, maka model tersebut juga
dianggap selesai. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk spiral model,
dimana model ini dapat digunakan kembali sepanjang umur dari software
tersebut. Pada umumnya, spiral model digunakan untuk beberapa project
seperti Concept Development Project (proyek pengembangan konsep), New
Product Development Project (proyek pengembangan produk baru), Product
Enhancement Project (proyek peningkatan produk), dan Product Maintenance
Project (proyek pemeliharaan proyek). Keempat project tersebut berjalan
berurutan mengitari sirkuit dari spiral. Sebagai contoh setelah suatu
konsep dikembangkan dengan melalui aktivitas2 dari spiral model, maka
dilanjutkan dengan proyek selanjutnya yaitu pengembangan produk baru,
peningkatan produk, sampai pemeliharaan proyek. Semuanya melalui
sirkuit2 dari spiral model.
Mengapa spiral model begitu populer?
Pendekatan dengan model ini sangat baik digunakan untuk pengembangan
sistem software dengan skala besar. Karena progres perkembangan dari SE
dapat dipantau oleh kedua belah pihak baik developer maupun user /
customer, sehingga mereka dapat mengerti dengan baik mengenai software
ini begitu juga dengan resiko yang mungkin didapat pada setiap aktivitas
yang dilakukan. Selain dari kombinasi 2 buah model yaitu waterfall dan
prototyping, kelebihan dari software ini ada pada analisis resiko yang
dilakukan, sehingga resiko tersebut dapat direduksi sebelum menjadi
suatu masalah besar yang dapat menghambat SE. Model ini membutuhkan
konsiderasi langsung terhadap resiko teknis, sehingga diharapkan dapat
mengurangi terjadinya resiko yang lebih besar. Sebenarnya dengan
menggunakan prototype juga bisa menghindari terjadinya resiko yang
muncul, tetapi kelebihan dari model ini yaitu dilakukannya proses
prototyping untuk setiap tahap dari evolusi produk secara kontinu. Model
ini melakukan tahap2 yang sudah sangat baik didefinisikan pada model
waterfall dan ditambah dengan iterasi yang menyebabkan model ini lebih
realistis untuk merefleksikan dunia nyata. Hal-hal itulah yang menjadi
kelebihan menggunakan spiral model.
Meskipun banyak kelebihan
tetapi tentu masih ada kekurangannya. Kekurangannya ada pada masalah
pemikiran user / customer dimana mereka pada umumnya tidak
WATERFALL PROCESS MODEL
Nama model ini sebenarnya adalah “Linear Sequential Model”. Model
ini sering disebut dengan “classic life cycle” atau model waterfall.
Model ini adalah model yang muncul pertama kali yaitu sekitar tahun 1970
sehingga sering dianggap kuno, tetapi merupakan model yang paling
banyak dipakai didalam Software Engineering (SE). Model ini
melakukan pendekatan secara sistematis dan urut mulai dari level
kebutuhan sistem lalu menuju ke tahap analisis, desain, coding, testing /
verification, dan maintenance. Disebut dengan waterfall karena tahap
demi tahap yang dilalui harus menunggu selesainya tahap sebelumnya dan
berjalan berurutan. Sebagai contoh tahap desain harus menunggu
selesainya tahap sebelumnya yaitu tahap requirement. Secara umum tahapan
pada model waterfall dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar
di atas adalah tahapan umum dari model proses ini. Akan tetapi Roger S.
Pressman memecah model ini menjadi 6 tahapan meskipun secara garis
besar sama dengan tahapan-tahapan model waterfall pada umumnya. Berikut
adalah penjelasan dari tahap-tahap yang dilakukan di dalam model ini
menurut Pressman:
· System / Information Engineering and Modeling.
Permodelan ini diawali dengan mencari kebutuhan dari keseluruhan sistem
yang akan diaplikasikan ke dalam bentuk software. Hal ini sangat
penting, mengingat software harus dapat berinteraksi dengan
elemen-elemen yang lain seperti hardware, database, dsb. Tahap ini
sering disebut dengan Project Definition.
· Software Requirements Analysis.
Proses pencarian kebutuhan diintensifkan dan difokuskan pada software.
Untuk mengetahui sifat dari program yang akan dibuat, maka para software
engineer harus mengerti tentang
domain informasi dari software, misalnya fungsi yang dibutuhkan, user
interface, dsb. Dari 2 aktivitas tersebut (pencarian kebutuhan sistem
dan software) harus didokumentasikan dan ditunjukkan kepada pelanggan.
· Design.
Proses ini digunakan untuk mengubah kebutuhan-kebutuhan diatas menjadi
representasi ke dalam bentuk “blueprint” software sebelum coding
dimulai. Desain harus dapat mengimplementasikan kebutuhan yang telah
disebutkan pada tahap sebelumnya. Seperti 2 aktivitas sebelumnya, maka
proses ini juga harus didokumentasikan sebagai konfigurasi dari
software.
· Coding.
Untuk dapat dimengerti oleh mesin, dalam hal ini adalah komputer, maka
desain tadi harus diubah bentuknya menjadi bentuk yang dapat dimengerti
oleh mesin, yaitu ke dalam bahasa pemrograman melalui proses coding.
Tahap ini merupakan implementasi dari tahap design yang secara teknis
nantinya dikerjakan oleh programmer.
· Testing / Verification.
Sesuatu yang dibuat haruslah diujicobakan. Demikian juga dengan
software. Semua fungsi-fungsi software harus diujicobakan, agar software
bebas dari error, dan hasilnya harus benar-benar sesuai dengan
kebutuhan yang sudah didefinisikan sebelumnya.
· Maintenance.
Pemeliharaan suatu software diperlukan, termasuk di dalamnya adalah
pengembangan, karena software yang dibuat tidak selamanya hanya seperti
itu. Ketika dijalankan mungkin saja masih ada errors kecil yang tidak
ditemukan sebelumnya, atau ada penambahan fitur-fitur yang belum ada
pada software tersebut. Pengembangan diperlukan ketika adanya perubahan
dari eksternal perusahaan seperti ketika ada pergantian sistem operasi,
atau perangkat lainnya.
Mengapa model ini sangat populer???
Selain karena pengaplikasian menggunakan model ini mudah, kelebihan
dari model ini adalah ketika semua kebutuhan sistem dapat didefinisikan
secara utuh, eksplisit, dan benar di awal project, maka SE dapat
berjalan dengan baik dan tanpa masalah. Meskipun seringkali kebutuhan
sistem tidak dapat didefinisikan seeksplisit yang diinginkan, tetapi
paling tidak, problem pada kebutuhan sistem di awal project lebih
ekonomis dalam hal uang (lebih murah), usaha, dan waktu yang terbuang
lebih sedikit jika dibandingkan problem yang muncul pada tahap-tahap
selanjutnya.
Meskipun
demikian, karena model ini melakukan pendekatan secara urut /
sequential, maka ketika suatu tahap terhambat, tahap selanjutnya tidak
dapat dikerjakan dengan baik dan itu menjadi salah satu kekurangan dari
model ini. Selain itu, ada beberapa kekurangan pengaplikasian model ini, antara lain adalah sebagai berikut:
· Ketika
problem muncul, maka proses berhenti, karena tidak dapat menuju ke
tahapan selanjutnya. Bahkan jika kemungkinan problem tersebut muncul
akibat kesalahan dari tahapan sebelumnya, maka proses harus membenahi
tahapan sebelumnya agar problem ini tidak muncul. Hal-hal seperti ini
yang dapat membuang waktu pengerjaan SE.
· Karena
pendekatannya secara sequential, maka setiap tahap harus menunggu hasil
dari tahap sebelumnya. Hal itu tentu membuang waktu yang cukup lama,
artinya bagian lain tidak dapat mengerjakan hal lain selain hanya
menunggu hasil dari tahap sebelumnya. Oleh karena itu, seringkali model
ini berlangsung lama pengerjaannya.
· Pada
setiap tahap proses tentunya dipekerjakan sesuai spesialisasinya
masing-masing. Oleh karena itu, ketika tahap tersebut sudah tidak
dikerjakan, maka sumber dayanya juga tidak terpakai lagi. Oleh karena
itu, seringkali pada model proses ini dibutuhkan seseorang yang
“multi-skilled”, sehingga minimal dapat membantu pengerjaan untuk
tahapan berikutnya.
Menurut saya, tahapan-tahapan model ini sudah
cukup baik dalam artian minimal untuk melakukan SE, maka harus ada
tahapan-tahapan ini. Tahapan-tahapan ini jugalah yang digunakan oleh model-model yang lain pada umumnya. Ada
filosofi yang mengatakan sesuatu yang sukses diciptakan pertama kali,
maka akan terus dipakai di dalam pengembangannya. Hal ini juga berlaku
pada waterfall model ini. Mungkin dapat dikatakan bahwa inilah standar
untuk melakukan SE.
Akan tetapi, yang mungkin
menjadi banyak pertimbangan mengenai penggunaan dari model ini adalah
metode sequential-nya. Mungkin untuk awal-awal software diciptakan, hal
ini tidak menjadi masalah, karena dengan berjalan secara berurutan, maka
model ini menjadi mudah dilakukan. Sesuatu yang mudah biasanya hasilnya
bagus. Oleh karena itu model ini sangat populer. Akan tetapi, seiring
perkembangan software, model ini tentu tidak bisa mengikutinya. Yang
menjadi kelemahan adalah pada pengerjaan secara berurutan tadi, seperti
yang sudah saya utarakan sebelumnya. Kelemahan-kelemahan yang lain juga
sudah saya utarakan di atas, atau bahkan masih ada yang lainnya.
Dari sini, nantinya akan dikembangkan model-model
yang lain, bahkan ada tahap evolusioner dari suatu model proses untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan tadi. Meskipun secara tahapan masih
menggunakan standar tahapan waterfall model. Kesimpulannya adalah ketika
suatu project skalanya sedang mengarah kecil bisa menggunakan model
ini. Akan tetapi kalau sudah project besar, tampaknya kesulitan jika menggunakan model ini.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar